A. Definisi
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan
sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
read more>>>
B. Epidemiologi
SLE lebih sering
ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan
mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000
populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006).
Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi
terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit
hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12
kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000
populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6
kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia
sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan
Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU
Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid
artritis, dan low back pain. Di
RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan
Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
C. Etiologi
Penyebab lupus
eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini
diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi
dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang
terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat
autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.
1.
Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap
benar bahwa SLE merupakan penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan
antibodi antinuklear (ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi
antinuklear terdapat di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa
serta dicirikan dengan teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap
DNA untai ganda sangat spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai
tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat
lain.
Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen
nuclear dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada
dinding pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus.
Penimbunan kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan
menyebabkan peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar
komplemen serum sering menurun pada fase aktif SLE.
Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE.
Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang
memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi
terhadap protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan
diathesis perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit,
dan trombosit, yang mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di
dalam sirkulasi perifer.
2.
Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui
dicetuskan oleh obat-obetan, seperti hidralazin (obat antihipertensi) dan
prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia jantung). Penyakit diinduksi -
obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi antinuklear),
tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering menyebabkan
membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara bertahap.
3.
Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama
virus – diduga menyebabkan lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen
infeksius diisolasi secara konsisten dari jaringan pasien.
4.
Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga
karena tingginya indeks klinis SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya
frekuensi penyakit pada kerabat tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering
ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen yang menyebabkan respons imun
dapat merupakan predisposisi berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen
nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami defisiensi faktor komplemen
dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik, karena gen C2 dan C4
berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.
Tabel 1. Antibodi pada SLE dan
penyakit jaringan ikat lain
|
|||
Antibodi
|
Insidensi
|
Antigen
|
Makna Klinis
|
Antibodi antinuklear1
|
|||
Anti-DNA
|
70%
|
DNA
|
Anti-DNA untai-ganda adalah
spesifik untuk SLE; anti-DNA untai-tunggal tidak spesifik
|
Anti-Sm
|
30%
|
Ribonukleoprotein (Ag Smith)
|
Spesifik untuk SLE
|
Anti-RNP
|
40%
|
Ribonukleprotein
|
Titer tinggi pada penyakit jaringan
ikat campuran
|
Anti-histon
|
70%
|
Histon
|
Positif pada 95% kasus SLE yang
diinduksi obat
|
Anti-Ro(SS-A)
|
30%
|
Ribonukleprotein
|
Berkaitan dengan sindrom Sjögren dan nefritis
|
Anti-LA(SS-B)
|
10%
|
Ribonukleprotein
|
Berkaitan dengan sindrom Sjögren
|
Anti-sentromer
|
<5%
|
Sentromer
|
Berkaitan dengan sindrom CREST
|
Anti-Sci 70
|
<5%
|
Topoisomerase DNA
|
Berkaitan dengan sklerosis sistemik
|
Anti-Jo 1
|
<5%
|
tRNA sintetase
|
Berkaitan dengan polimiositis
|
Antibodi lain
|
|||
Antikardiopilin
|
50%
|
Fosfolipid
|
Berkaitan dengan thrombosis, aborsi
spontan; antkoagulan lupus; VDRL positif palsu
|
Antieritrosit
|
60%
|
Antigen permukaan eritrosit
|
Hemolisis (jarang)
|
Antitrombosit
|
?
|
Antigen permukaan trombosit
|
Trombositopenia
|
Antilimfosit
|
70%
|
Antigen permukaan limfe
|
(?) disfungsi sel T
|
Antineuronal
|
60%
|
Antigen permukaan neuron
|
(?) Lupus system syaraf pusat
|
1Uji
negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin
ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien
D.
Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi
genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah
sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks,
sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam
sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya
reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu
yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi
seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya
golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan
biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan,
nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.


E.
Manifestasi Klinik
Gambaran klinis
yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
·
Artralgia
·
Artritis (sinovitis)
·
Pembengkakan sendi
·
Nyeri tekan
·
Rasa nyeri ketika bergerak
·
Rasa kaku pada pagi hari.
F.
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat
sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk membuat diagnosis
yang akurat berdasarkan gejala.
Ada beberapa pemeriksaan
yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi adanya autoantibody tertentu
dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah autoantibody yang paling sering
ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE menunjukkan hasil pemeriksaan
positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan penyakit lain juga
menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang spesifik
terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:
·
Antibody anti – DNA
·
Antibody anti – SM
·
Antibody anti – RNP
·
Antibody anti – Ro
·
Antibody anti – La
Tidak semua individu yang
mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang
berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Pemeriksaan
Diagnostik
|
Hasil
|
LED
|
Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya
inflamasi
|
Kadar komplemen
|
Menurun pada penyakit aktif
|
Hitung darah lengkap
|
Hitung hemoglobin dan trombosit rendah
|
Urinalisis
|
Proteinuria dan hematuria
|
Biopsy kulit
|
Perubahan histology yang sesuai dengan lupus
|
ANA
|
Positif pada sebagian besar kasus
|
Autoantibody lain :
anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan
anti – La
|
Hasil bervariasi pada individu
|
G.
Penatalaksanaan
Pengobatan medis
SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat disembuhkan sehingga
penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit. Analgesic NSAID
berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala penyakit yang
parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan pemantauan gejala
dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan rawat inap.
Perawat
menemukan pasien SLE pada berbagai are klinik karena sifat penyakit yang
homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan
umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien,
terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1. Pemantauan aktivitas
penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti hitung
nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner
pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna
mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
2. Edukasi sangat penting pada
semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stress dan
serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka.
Advis tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya
latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan
keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam
membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan
dengan baik.
3. Dukungan psikologis
merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat member dukungan dan
dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.
Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan
kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan
regimen bagi mereka.
H.
Komplikasi
Komplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
a)
Kelainan ginjal ringan (infeksi
ginjal)
b)
Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c)
Kebocoran ginjal (protein terbuang
secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a)
Pleuritis
b)
Pericarditis
c)
Efusi pleura
d)
Efusi pericard
e)
Radang otot jantung atau Miocarditis
f)
Gagal jantung
g)
Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a)
Sistem saraf pusat
·
Cognitive dysfunction
·
Sakit kepala pada lupus
·
Sindrom anti-phospholipid
·
Sindrom otak
·
Fibromyalgia.
b)
Sistem saraf tepi
·
Mati rasa atau kesemutan di lengan
dan kaki
c)
Sistem saraf otonom
·
Gangguan suplai darah ke otak dapat
menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak
dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan
pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
·
Lesi parut berbentuk koin pada
daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid
·
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan
oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a)
Berparut, berwarna merah
(erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari.
Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang
menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b)
Lesi dapat terjadi di wajah dengan
pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh
c)
Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada
ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di
kaki yang dapat menjadi borok (7).
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika
terkena matahari dan kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
·
Anemia
·
Trombositopenia
·
Gangguan pembekuan
·
Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
DAFTAR
PUSTAKA
Chandrasoma, Parakrama. 2006. Ringkasan Patologi
Anatomi / penulis, Parakrama Chandarsoma, Clive R. Taylor; alih bahasa, Roem
Soedoko … [et al] ; editor edisi bahasa Indonesia, Dewi Asih Mahanani … [et
al]. edisi 2. Jakarta : EGC
http://nursingbegin.com/askep-sle/, dikutip pada tanggal 7 Maret 2012
http://susenbopeas.blogspot.com/2009/08/lupus-eritematosus-sistemik.html, dikutip tanggal 8 Maret 2012
Joe.
2009. Systemic lupus erytematosus (SLE)
atau lupus eritematosus sistemik (LES). http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/, dikutip tanggal 3 Maret 2012
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik &
Trauma/ editor Julia D Kneale, Ptere S. Davis; alih bahasa, Egi Komara Yudha
…[et al]; editor edisi bahasa Indonesia, Tuti Hadiningsih, Sari Isnaeni, Ni
Putu Indri Mahayuni. Edisi 2. Jakarta : EGC
Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Available at : http//www.tempo.co.id/medika/arsip
Odapus, Orang dengan Penderita Lupus. Available at :
http//www.indosiar.com
0 komentar:
Posting Komentar