RSS

Systemic Lupus Erythematosus


A.    Definisi
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
read more>>>
 
B.     Epidemiologi
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus  per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.

C.    Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.
1.      Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear (ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.
Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada fase aktif SLE.
Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE. Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.
2.      Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia jantung). Penyakit diinduksi - obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara bertahap.
3.      Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari jaringan pasien.
4.      Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.

Tabel 1. Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lain
Antibodi
Insidensi
Antigen
Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA
70%
DNA
Anti-DNA untai-ganda adalah spesifik untuk SLE; anti-DNA untai-tunggal tidak spesifik
Anti-Sm
30%
Ribonukleoprotein (Ag Smith)
Spesifik untuk SLE
Anti-RNP
40%
Ribonukleprotein
Titer tinggi pada penyakit jaringan ikat campuran
Anti-histon
70%
Histon
Positif pada 95% kasus SLE yang diinduksi obat
Anti-Ro(SS-A)
30%
Ribonukleprotein
Berkaitan dengan sindrom Sjögren dan nefritis
Anti-LA(SS-B)
10%
Ribonukleprotein
Berkaitan dengan sindrom Sjögren
Anti-sentromer
<5%
Sentromer
Berkaitan dengan sindrom CREST
Anti-Sci 70
<5%
Topoisomerase DNA
Berkaitan dengan sklerosis sistemik
Anti-Jo 1
<5%
tRNA sintetase
Berkaitan dengan polimiositis
Antibodi lain
Antikardiopilin
50%
Fosfolipid
Berkaitan dengan thrombosis, aborsi spontan; antkoagulan lupus; VDRL positif palsu
Antieritrosit
60%
Antigen permukaan eritrosit
Hemolisis (jarang)
Antitrombosit
?
Antigen permukaan trombosit
Trombositopenia
Antilimfosit
70%
Antigen permukaan limfe
(?) disfungsi sel T
Antineuronal
60%
Antigen permukaan neuron
(?) Lupus system syaraf pusat
1Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien

D.    Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.



E.     Manifestasi Klinik
Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
·         Artralgia
·         Artritis (sinovitis)
·         Pembengkakan sendi
·         Nyeri tekan
·         Rasa nyeri ketika bergerak
·         Rasa kaku pada pagi hari.



F.     Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.
Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:
·         Antibody anti – DNA
·         Antibody anti – SM
·         Antibody anti – RNP
·         Antibody anti – Ro
·         Antibody anti – La
Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Pemeriksaan Diagnostik
Hasil
LED
Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya inflamasi
Kadar komplemen
Menurun pada penyakit aktif
Hitung darah lengkap
Hitung hemoglobin dan trombosit rendah
Urinalisis
Proteinuria dan hematuria
Biopsy kulit
Perubahan histology yang sesuai dengan lupus
ANA
Positif pada sebagian besar kasus
Autoantibody lain :
anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan anti – La

Hasil bervariasi pada individu

G.    Penatalaksanaan
Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit. Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan rawat inap.
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai are klinik karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1.      Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
2.      Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stress dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advis tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3.      Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat member dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka.

H.    Komplikasi
Komplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
a)      Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b)      Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c)      Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a)      Pleuritis
b)      Pericarditis
c)      Efusi pleura
d)     Efusi pericard
e)      Radang otot jantung atau Miocarditis
f)       Gagal jantung
g)      Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a)      Sistem saraf pusat
·         Cognitive dysfunction
·         Sakit kepala pada lupus
·         Sindrom anti-phospholipid
·         Sindrom otak
·         Fibromyalgia.
b)      Sistem saraf tepi
·         Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c)      Sistem saraf otonom
·         Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
·         Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid
·         Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a)      Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b)      Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh
c)      Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
·         Anemia
·         Trombositopenia
·         Gangguan pembekuan
·         Limfositopenia
8. Serangan pada Hati




DAFTAR PUSTAKA

Chandrasoma, Parakrama. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi / penulis, Parakrama Chandarsoma, Clive R. Taylor; alih bahasa, Roem Soedoko … [et al] ; editor edisi bahasa Indonesia, Dewi Asih Mahanani … [et al]. edisi 2. Jakarta : EGC
http://nursingbegin.com/askep-sle/, dikutip pada tanggal 7 Maret 2012
Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES). http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/, dikutip tanggal 3 Maret 2012
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma/ editor Julia D Kneale, Ptere S. Davis; alih bahasa, Egi Komara Yudha …[et al]; editor edisi bahasa Indonesia, Tuti Hadiningsih, Sari Isnaeni, Ni Putu Indri Mahayuni. Edisi 2. Jakarta : EGC
Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Available at : http//www.tempo.co.id/medika/arsip
Odapus, Orang dengan Penderita Lupus. Available at : http//www.indosiar.com

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 18 Maret 2012

Systemic Lupus Erythematosus



A.    Definisi
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
read more>>>
 
B.     Epidemiologi
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus  per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.

C.    Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.
1.      Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear (ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.
Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada fase aktif SLE.
Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE. Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.
2.      Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia jantung). Penyakit diinduksi - obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara bertahap.
3.      Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari jaringan pasien.
4.      Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.

Tabel 1. Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lain
Antibodi
Insidensi
Antigen
Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA
70%
DNA
Anti-DNA untai-ganda adalah spesifik untuk SLE; anti-DNA untai-tunggal tidak spesifik
Anti-Sm
30%
Ribonukleoprotein (Ag Smith)
Spesifik untuk SLE
Anti-RNP
40%
Ribonukleprotein
Titer tinggi pada penyakit jaringan ikat campuran
Anti-histon
70%
Histon
Positif pada 95% kasus SLE yang diinduksi obat
Anti-Ro(SS-A)
30%
Ribonukleprotein
Berkaitan dengan sindrom Sjögren dan nefritis
Anti-LA(SS-B)
10%
Ribonukleprotein
Berkaitan dengan sindrom Sjögren
Anti-sentromer
<5%
Sentromer
Berkaitan dengan sindrom CREST
Anti-Sci 70
<5%
Topoisomerase DNA
Berkaitan dengan sklerosis sistemik
Anti-Jo 1
<5%
tRNA sintetase
Berkaitan dengan polimiositis
Antibodi lain
Antikardiopilin
50%
Fosfolipid
Berkaitan dengan thrombosis, aborsi spontan; antkoagulan lupus; VDRL positif palsu
Antieritrosit
60%
Antigen permukaan eritrosit
Hemolisis (jarang)
Antitrombosit
?
Antigen permukaan trombosit
Trombositopenia
Antilimfosit
70%
Antigen permukaan limfe
(?) disfungsi sel T
Antineuronal
60%
Antigen permukaan neuron
(?) Lupus system syaraf pusat
1Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien

D.    Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.



E.     Manifestasi Klinik
Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
·         Artralgia
·         Artritis (sinovitis)
·         Pembengkakan sendi
·         Nyeri tekan
·         Rasa nyeri ketika bergerak
·         Rasa kaku pada pagi hari.



F.     Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.
Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:
·         Antibody anti – DNA
·         Antibody anti – SM
·         Antibody anti – RNP
·         Antibody anti – Ro
·         Antibody anti – La
Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Pemeriksaan Diagnostik
Hasil
LED
Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya inflamasi
Kadar komplemen
Menurun pada penyakit aktif
Hitung darah lengkap
Hitung hemoglobin dan trombosit rendah
Urinalisis
Proteinuria dan hematuria
Biopsy kulit
Perubahan histology yang sesuai dengan lupus
ANA
Positif pada sebagian besar kasus
Autoantibody lain :
anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan anti – La

Hasil bervariasi pada individu

G.    Penatalaksanaan
Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit. Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan rawat inap.
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai are klinik karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1.      Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
2.      Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stress dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advis tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3.      Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat member dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka.

H.    Komplikasi
Komplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
a)      Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b)      Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c)      Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a)      Pleuritis
b)      Pericarditis
c)      Efusi pleura
d)     Efusi pericard
e)      Radang otot jantung atau Miocarditis
f)       Gagal jantung
g)      Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a)      Sistem saraf pusat
·         Cognitive dysfunction
·         Sakit kepala pada lupus
·         Sindrom anti-phospholipid
·         Sindrom otak
·         Fibromyalgia.
b)      Sistem saraf tepi
·         Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c)      Sistem saraf otonom
·         Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
·         Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid
·         Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a)      Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b)      Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh
c)      Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
·         Anemia
·         Trombositopenia
·         Gangguan pembekuan
·         Limfositopenia
8. Serangan pada Hati




DAFTAR PUSTAKA

Chandrasoma, Parakrama. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi / penulis, Parakrama Chandarsoma, Clive R. Taylor; alih bahasa, Roem Soedoko … [et al] ; editor edisi bahasa Indonesia, Dewi Asih Mahanani … [et al]. edisi 2. Jakarta : EGC
http://nursingbegin.com/askep-sle/, dikutip pada tanggal 7 Maret 2012
Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES). http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/, dikutip tanggal 3 Maret 2012
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma/ editor Julia D Kneale, Ptere S. Davis; alih bahasa, Egi Komara Yudha …[et al]; editor edisi bahasa Indonesia, Tuti Hadiningsih, Sari Isnaeni, Ni Putu Indri Mahayuni. Edisi 2. Jakarta : EGC
Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Available at : http//www.tempo.co.id/medika/arsip
Odapus, Orang dengan Penderita Lupus. Available at : http//www.indosiar.com

0 komentar:

Posting Komentar